Scroll. Swipe. Like. Repeat.
Bagi generasi Gen Z — mereka yang tumbuh bersama internet, smartphone, dan Instagram — media sosial bukan sekadar alat komunikasi. Ini sudah menjadi bagian dari keseharian, bahkan identitas. Tapi di balik layar ponsel yang tampak sederhana, ada sesuatu yang jauh lebih kompleks bekerja diam-diam: algoritma.
Algoritma media sosial dirancang untuk satu hal: menjaga perhatian pengguna selama mungkin. Semakin lama kamu scroll, semakin banyak iklan yang bisa ditampilkan. Semakin kamu berinteraksi, semakin platform tahu apa yang kamu suka — atau bahkan siapa kamu sebenarnya.
Apa yang Dilakukan Algoritma?
Awalnya terlihat tidak berbahaya. Tapi perlahan, algoritma ini mulai menciptakan dunia kecil yang sangat personal. Konten yang kamu lihat hari ini bukanlah cerminan dunia secara objektif, melainkan hasil dari apa yang kamu pernah sukai, komentari, atau tonton sampai habis.
Bagi Gen Z, ini berarti banyak hal. Di satu sisi, mereka mendapatkan konten yang terasa relevan, cepat, dan menyenangkan. Tapi di sisi lain, mereka juga bisa mengalami tekanan psikologis tanpa sadar.
Dampak Negatif pada Gen Z:
Kita semua mungkin pernah mengalaminya: membuka TikTok dan merasa tidak cukup produktif karena semua orang tampak sukses di usia muda. Atau merasa tertinggal karena Instagram dipenuhi pencapaian orang lain.
Yang sering terlupa adalah, algoritma memilih untuk menampilkan konten tersebut karena kita — secara sadar atau tidak — pernah berinteraksi dengannya.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Bagi mahasiswa, ini bisa memengaruhi semangat belajar, pola tidur, hingga cara memandang masa depan. Bagi alumni, ini berdampak pada cara membangun karier, branding diri, atau bahkan memilih kebenaran.
"Di era digital ini, kesadaran adalah bentuk kekuatan."
Dan generasi yang mampu memahami — serta mengelola — cara algoritma bekerja adalah generasi yang siap memimpin dunia dengan lebih bijak.
Develop Nation's Potential
Edited By: Othello